Joko
Widodo atau Jokowi (lahir di Surakarta,
Jawa Tengah,
21 Juni
1961; umur 53 tahun)
adalah presiden terpilih Indonesia tahun 2014. Politisi Indonesia ini adalah
mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Surakarta (Solo) dari tahun 2005
sampai 2012 didampingi F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakil wali kota Dua
tahun sementara menjalani periode keduanya di Solo, Jokowi ditunjuk oleh
partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) untuk memasuki pemilihan Gubernur DKI Jakarta bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Joko Widodo |
Walaupun pada
masa kecilnya pernah tergusur sebanyak tiga kali, ia mampu diterima di Fakultas
Kehutanan Universitas Gajah Mada dan setelah lulus
berhasil menjadi pengusaha furnitur. Setelah itu, karier politiknya dimulai dengan
menjadi Wali Kota Surakarta pada tahun 2005.[7]
Namanya mulai dikenal setelah dianggap berhasil mengubah wajah kota Surakarta
menjadi kota pariwisata, budaya, dan batik. Pada tanggal 20 September 2012,
Jokowi berhasil memenangkan Pilkada Jakarta 2012, dan
kemenangannya dianggap mencerminkan dukungan populer untuk seorang pemimpin
yang "baru" dan "bersih", meskipun umurnya sudah lebih dari
lima puluh tahun.
Semenjak
terpilih sebagai gubernur, popularitasnya melambung tinggi dan ia terus menjadi
sorotan media. Akibatnya, muncul wacana untuk menjadikannya calon presiden
untuk pemilihan umum presiden Indonesia
2014. Ditambah lagi, hasil survei menunjukkan bahwa nama Jokowi
terus diunggulkan. Pada awalnya, Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri menyatakan bahwa ia
tidak akan mengumumkan Calon Presiden PDI-P sampai setelah pemilihan umum legislatif
9 April 2014.
Namun, pada tanggal 14 Maret 2014, Jokowi
telah menerima mandat dari Megawati untuk maju sebagai calon presiden dari
PDI-P, tiga minggu sebelum pemilihan umum legislatif dan dua hari sebelum
kampanye.
Masa kecil dan keluarga
Joko
Widodo bersama ibunya, Sudjiatmi Notomihardjo (kanan), dan adik-adiknya di
'Rumah Saya', Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis, 20 September 2012 pada saat
pencalonan gubernur DKI Jakarta.
Joko
Widodo lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi Notomiharjo dan merupakan
anak sulung dan putra satu-satunya dari empat bersaudara. Ia memiliki tiga
orang adik perempuan bernama Iit Sriyantini, Ida Yati dan Titik Relawati[16]
Sebelum berganti nama, Joko Widodo memiliki nama kecil Mulyono.[17]
Ayahnya berasal dari Karanganyar, sementara kakek dan neneknya
berasal dari sebuh desa di Boyolali.[18]
Pendidikannya diawali dengan masuk SD Negeri 111 Tirtoyoso yang dikenal sebagai
sekolah untuk kalangan menengah ke bawah.
Dengan
kesulitan hidup yang dialami, ia terpaksa berdagang, mengojek payung, dan jadi
kuli panggul untuk mencari sendiri keperluan sekolah dan uang jajan. Saat
anak-anak lain ke sekolah dengan sepeda, ia memilih untuk tetap berjalan kaki.
Mewarisi keahlian bertukang kayu dari ayahnya, ia mulai pekerjaan menggergaji
di umur 12 tahun.[6][20]
Penggusuran yang dialaminya sebanyak tiga kali di masa kecil memengaruhi cara
berpikirnya dan kepemimpinannya kelak setelah menjadi Wali Kota Surakarta
saat harus menertibkan permukiman warga.
Setelah
lulus SD, ia kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Surakarta.[22]
Ketika ia lulus SMP, ia sempat ingin masuk ke SMA Negeri 1 Surakarta, namun gagal
sehingga pada akhirnya ia masuk ke SMA Negeri 6 Surakarta.
Jokowi
menikah dengan Iriana
di Solo, tanggal 24 Desember 1986, dan memiliki 3 orang anak, yaitu Gibran
Rakabuming (1988), Kahiyang Ayu (1991), dan Kaesang Pangarep (1995).
Masa kuliah dan berwirausaha
Dengan performa akademis yang dimiliki, ia diterima di
Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Kesempatan ini
dimanfaatkannya untuk belajar struktur kayu, pemanfaatan, dan teknologinya. Ia
berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan judul skripsi "Studi tentang
Pola Konsumsi Kayu Lapis pada Pemakaian Akhir di Kodya Surakarta".
Setelah lulus pada 1985, ia bekerja di BUMN PT Kertas Kraft
Aceh, dan ditempatkan di area Hutan Pinus Merkusii di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah.
Namun ia merasa tidak betah dan pulang menyusul istrinya yang sedang hamil
tujuh bulan. Ia bertekad berbisnis di bidang kayu dan bekerja di usaha milik
Pakdenya, Miyono, di bawah bendera CV Roda Jati. Pada tahun 1988, ia memberanikan
diri membuka usaha sendiri dengan nama CV Rakabu, yang diambil dari nama anak
pertamanya. Usahanya sempat berjaya dan juga naik turun karena tertipu pesanan
yang akhirnya tidak dibayar. Namun pada tahun 1990 ia bangkit kembali dengan
pinjaman modal Rp 30 juta dari Ibunya.
Usaha ini membawanya bertemu Micl Romaknan, yang akhirnya
memberinya panggilan yang populer hingga kini, "Jokowi". Dengan
kejujuran dan kerja kerasnya, ia mendapat kepercayaan dan bisa berkeliling
Eropa yang membuka matanya. Pengaturan kota yang baik di Eropa menjadi
inspirasinya untuk diterapkan di Solo dan menginspirasinya untuk memasuki dunia
politik. Ia ingin menerapkan kepemimpinan manusiawi dan mewujudkan kota yang
bersahabat untuk penghuninya.[20]
Wali Kota Surakarta (Awal Mula Jokowi Terkenal)
Pada pilkada kota Solo pada tahun 2005, Jokowi diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk maju
sebagai calon wali kota Surakarta. Ia berhasil memenangkan pemilihan tersebut
dengan persentase suara sebesar 36,62%.[7]
Setelah terpilih, dengan berbagai pengalaman di masa muda, ia mengembangkan
Solo yang sebelumnya buruk penataannya dan menghadapi berbagai penolakan
masyarakat untuk ditertibkan. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami
perubahan dan menjadi kajian di universitas luar negeri.[8]
Berkat pencapaiannya ini Jokowi terpilih kembali sebagai Wali Kota Surakarta
pada tahun 2010 dengan persentase suara sebesar 90,09%.
Di bawah kepemimpinannya, bus Batik Solo Trans
diperkenalkan,[26]
berbagai kawasan seperti Jalan Slamet Riyadi dan Ngarsopuro diremajakan,[27]
dan Solo menjadi tuan rumah berbagai acara internasional.[27]
Selain itu, Jokowi juga dikenal akan pendekatannya dalam merelokasi pedagang
kaki lima yang "memanusiakan manusia".[28]
Berkat pencapaiannya ini, pada tahun 2010 ia terpilih lagi dengan suara
melebihi 90%.[25]
Kemudian, pada tahun 2012, ia dicalonkan oleh PDI-P sebagai calon Gubernur DKI
Jakarta.
Rebranding
Solo
Branding untuk
kota Solo dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo
yaitu "Solo: The Spirit of Java". Langkah yang dilakukannya
cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang
barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi
fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan
kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan
oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar
semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman.[27]
Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip
kepemimpinannya.
Rebranding
ini turut didukung dengan pengembangan citra kota Solo sebagai "kota
budaya" dan "kota batik". Pada tahun 2011, misalnya, Solo
menjadi ibukota batik Indonesia.[30]
Selain itu, sejak tahun 2008, kota Solo setiap tahunnya selalu mengadakan Solo
Batik Carnival.
Di bawah kepemimpinan
Jokowi pula kota Solo dikembangkan sebagai kota MICE, yang merupakan
singkatan dari meetings (pertemuan), incentives (insentif), conferencing
(konferensi), dan exhibitions (pameran). Sebagai tindak lanjut branding,
Jokowi aktif melakukan pendekatan kepada para penanam modal, terutama
pengembang properti untuk menyediakan fasilitas konvensi dan hotel. Ia juga
mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia
dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan
Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober
2008 ini. Pada tahun 2007, Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival
Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk
dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan.
FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.
Selain itu, Solo menjadi tuan rumah Euro-Asia World Heritage Cities Conference
and Exhibition pada tahun 2008, Solo International Ethnic Music Festival
(SIEM) pada tahun 2007 dan 2008 dan International Performing Arts Festival
pada tahun 2009.
Mendamaikan Keraton Surakarta
Pada tanggal 11 Juni 2004, Paku Buwono
XII wafat tanpa sempat menunjuk permaisuri maupun putera mahkota,
sehingga terjadi pertentangan antara kedua putranya, Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dan Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo (KGPH) Panembahan Agung Tedjowulan. Selama tujuh tahun ada dua raja yang
ditunjuk oleh kedua pihak di dalam satu Keraton.
Konflik ini akhirnya mendorong campur tangan pemerintah
Republik Indonesia dengan menawarkan dualisme kepemimpinan, dengan Paku Buwono XIII
sebagai Raja dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih.
Penandatanganan kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum
serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai
karena beberapa keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.
Puncaknya adalah penolakan atas Raja dan Mahapatih untuk
memasuki Keraton pada tanggal 25 Mei 2012. Keduanya dicegat di pintu utama
Keraton di Korikamandoengan.[34]
Jokowi akhirnya berperan menyatukan kembali perpecahan ini setelah delapan
bulan menemui satu per satu pihak keraton yang terlibat dalam pertentangan.
Pada tanggal 4 Juni 2012 akhirnya Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan berakhirnya
konflik Keraton Surakarta yang didukung oleh pernyataan kesediaan melepas gelar
oleh Panembahan Agung Tedjowulan, serta kesiapan kedua keluarga untuk melakukan
rekonsiliasi.
Pembenahan pedagang kaki lima
Program yang mencuatkan namanya selama menjadi Wali Kota
Solo adalah pembenahan pasar dan pedagang kaki lima. Salah satu contohnya
adalah pedagang kaki lima di Monumen 45 Banjarsari. Jokowi menggunakan
pendengkatan nguwonke wong atau memanusiakan manusia sehingga tidak
memaksa atau pun menggusur pedagang, sebaliknya mengedepankan dialog dan makan
siang bersama agar pedagang mulai berani menumpahkan keluhannya langsung.
Selain itu, dibuka pula jalur diskusi di mana saja, seperti di Balai Kota,
warung, wedangan, pinggir jalan, hingga di Loji Gandrung.
Setelah 54 kali sesi makan siang bersama selama 7 bulan,
pedagang mulai luluh dan Pemerintah Kota Solo mengistimewakan para pedagang
yang bersedia pindah dengan membuatkan arak-arakan hingga ke tempat baru.
Konflik dengan Bibit Waluyo
Pada Juni 2011, Joko Widodo menolak pendirian mal di lokasi bekas pabrik
es Saripetojo untuk membatasi maraknya pasar modern dan melindungi pasar
tradisional.[37]
Kebijakan pendirian mal ini merupakan kebijakan dari Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo,[37]
sehingga Bibit mengatakan Jokowi "bodoh" karena menentang kebijakan
gubernur.[37]
Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dari warga Solo, yang bahkan menolak
kehadirannya di kota Surakarta.[38]
Jokowi sendiri menanggapi dengan santai, dan menyatakan bahwa "saya itu
memang masih bodoh. Masih harus banyak belajar ke banyak orang".
Gubernur DKI Jakarta (Puncak Elektabilitas Jokowi)
Sumber Semua Gambar : Wikipedia.com |
Jokowi diminta secara pribadi oleh Jusuf Kalla
untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilgub DKI
tahun 2012. Karena merupakan kader PDI Perjuangan, maka Jusuf Kalla
meminta dukungan dari Megawati Soekarnoputri, yang awalnya terlihat masih ragu.
Sementara itu Prabowo Subianto juga melobi PDI Perjuangan agar bersedia
mendukung Jokowi sebagai calon gubernur karena membutuhkan 9 kursi lagi untuk
bisa mengajukan Calon Gubernur.[56]
Pada saat itu, PDI Perjuangan hampir memilih untuk mendukung Fauzi Bowo dan
Jokowi sendiri hampir menolak dicalonkan.[57]
Sebagai wakilnya, Basuki T Purnama yang saat itu menjadi anggota DPR dicalonkan
mendampingi Jokowi dengan pindah ke Gerindra karena Golkar telah sepakat
mendukung Alex Noerdin sebagai Calon Gubernur.
Pasangan ini awalnya tidak diunggulkan. Hal ini terlihat
dari klaim calon petahana yang diperkuat oleh Lingkaran Survei Indonesia bahwa
pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan memenangkan pilkada dalam satu
putaran. Selain itu, PKS yang meraup lebih dari 42 persen suara untuk Adang
Daradjatun di pilkada 2007 juga mengusung
Hidayat Nur Wahid yang sudah dikenal rakyat
sebagai Ketua MPR RI periode 2004-2009. Dibandingkan dengan partai lainnya,
PDIP dan Gerindra hanya mendapat masing-masing hanya 11 dan 6 kursi dari total
94 kursi, jika dibandingkan dengan 32 kursi milik Partai Demokrat untuk Fauzi
Bowo, serta 18 Kursi milik PKS untuk Hidayat Nur Wahid. Namun LP3ES sudah
memprediksi bahwa Jokowi dan Fauzi Bowo akan bertemu di putaran dua.
Hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei pada
hari pemilihan, 11 Juli 2012 dan sehari setelah itu, memperlihatkan Jokowi
memimpin, dengan Fauzi Bowo di posisi kedua. Pasangan ini berbalik diunggulkan
memenangi pemilukada
DKI 2012 karena kedekatan Jokowi dengan Hidayat Nur Wahid saat
pilkada Wali Kota Solo 2010[63]
serta pendukung Faisal Basri dan Alex Noerdin dari hasil survei cenderung
beralih kepadanya.
Ia akan menjabat selama lima tahun dan berakhir pada tahun
2017. Selama menjabat sebagai gubernur, ia melancarkan berbagai program seperti
Kartu Jakarta Sehat,[65]
Kartu Jakarta Pintar,[66]
lelang
jabatan,[67]
pembangunan Angkutan Massal Cepat (MRT) dan Monorel,[68][69]
pengembalian fungsi waduk dan sungai,[70]
serta penyediaan ruang terbuka hijau.
Dan Akhirnya menjadi Presiden Indonesia 2014-2019 ..
Joko Widodo |
No comments:
Post a Comment